Baru Tahu Aku Pecundang

insomnia-green-guy

Setelah terjangkit insomnia sekitar satu bulan lamanya, pola hidupku berganti gaya. Dari biasa-biasa sampai carut marut, kerjaan tidak terselesaikan, system imun tidak lagi berfungsi kebal, yang lebih parah, pikiran semakin mengawang-awang, entah kemana, gak jelas juntrungannya, kadang ngelamun seharian, memikirkan ulang mengenai kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis.

Apalagi kalau inget umur, beberapa tahun lagi akan menginjak seperempat abad, tapi baru mengerti teori kesadaran menurut Gramscii sebulan yang lalu. Celaka sudah, aku merasa dipecundangi system. Pendidikan macam apa yang tidak memperkenalkan aku dengan teori-teori segar semacam hegemoni dan ideology, dan yang lainya. Gak adil juga sebenarnya menyalahkan system. Aku ini mahasiswa sastra, harusnya sudah tahu sendiri buku-buku penyegaran macam itu. Cuma,lingkunganku, teman-teman, bahkan dosen-dosen pun tidak ada yang memberi tahu, aku kesal sekali, sekolah tinggi, kenapa kok tahu nya baca sendiri bukan dari diskusi di kelas macam kegiatan belajar mengajar di Harvard.

Bacaanku ya fiksi-fiksi posmo. Itu juga yang ku ambil hanya fenomena biasa, hanya mengerti alur cerita. Hikmah nya? Bah, tak terpikir olehku. Yang penting baca, imajinasi jalan, salah satu bentuk pelarian dari tugas kuliah yang melelahkan. Sementara tetanggaku kelaparan, sementara saudara-saudaraku ngelem pinggir jalan, sementara makin banyak anak yang dipenjara, sementara istri-istri di duakan, ayah-ayah di PHK, perawan-perawan dijual, ginjal-ginjal di cabut demi uang, pemuda-pemuda di bodohkan, wanita-wanita dibohongi iklan, harapan-harapan mulia diperjual belikan, keyakinan di permasalahkan, politik di bikin usaha cari duit, gunung di privatisasi, air makin gak layak di konsumsi, udara makin kotor, dehumanisasi! Tinggal menunggu satu saat nanti ada segelitir orang mengatas namakan manusia dengan upaya humanisasi padahal hanya ingin berkuasa, merajalela, menguasai dunia, dan kita masih saja bodoh, naif.

Mengerti. Akhir-akhir ini banyak yang bilang kok aku kucel sekali, lusuh bak kertas kuis dengan nilai E yang di kuel-kuel, lempar ke tempat sampah, terus dipungut lagi. Kelas sering telat, malah berani titip absen, gak dengar instruksi dosen pembimbing revisi ini itu, akhrinya kena semprot, terus di jutekin. Kok kamu jadi mengecewakan? Tidak responsif? Tidak brilian? Malah seperti mahasiswa yang kepaksa kuliah?

Beruntung tak pernah ada yang bertanya se kurang ajar itu. Tapi itu pertanyaan logis kepala ku sendiri, ditujukan ke batin. Diam-diam, ternyata gejala insomniaku merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tentu tidak akan kutemui jawabannya dengan melamun, menatap keluar jendela, menuju bangunan-bangunan sumpek yang menghabiskan lahan rakyat, konon, lahan gedung depan jendela itu lahan sengketa.

Jawabannya ada di rak buku. Aku yakin. Tapi bukan novel scifi, atau romantisisme posmo. Sebenarnya bisa saja, tapi aku lebih suka jawaban yang to the point. Sampai aku yakin jawaban nya itu adalah “aku sedang kecewa, oleh karena itu aku mengecewakan”. Kecewaku itu lebih parah dari patah hati, ditinggal pergi orang tua, atau kehabisan uang saku di minggu pertama bulan yang baru. Ini adalah kekecewaan yang memiliki keterkaitan dengan rasa kemanusiaan, tentang sesuatu yang paling esensial, substansi paling fundamental, fungsi kehidupan.

Akhirnya kubaca lagi teori-teori filsafat eksistensialisme, sampai filsafat politik. Entah apa kaitannya, tapi dengan membaca semua itu, sedikit demi sedikit, kekecewaan berkurang. Makin mengerti apa yang harus aku lakukan. Makin punya gambaran lulus kuliah mau jadi apa, harus berkontribusi untuk siapa. Sekalipun beberapa orang tidak setuju dengan pendapatku, yang penting aku tenang, tidak terjangkit insomnia dari tengah malam hingga adzan subuh akhir berkumandang.

Memang ada banyak hal yang aku dapatkan di ruang kuliah, namun realitas ada diluar universitas. Jika teori-teori adalah batas-batas, maka fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia di sekeliling kita adalah tantangan terhadap batas-batas tersebut. Ruang yang memberi kesempatan, agar hidup sebagai manusia menjadi lebih berarti. Bukan melulu soal kesuksesan segi finansial, tapi juga dari sisi kemanusiaan. Biar kita tidak jadi pecundang. Tahu banyak, tapi tidak melakukan perubahan.

8 thoughts on “Baru Tahu Aku Pecundang

  1. Aku setuju, di bangku kuliah kita tidak diajak berpikir apa kontribusi yang bisa kita berikan kepada masyarakat setelah kita lulus, menurutku, ujung2 nya hanyalah memikirkan tentang egoisme, profit, keuntungan untuk diri sendiri saja, bukan untuk orang lain. Justru dari luar bangku kuliah kita belajar mengenai banyak hal dan lebih bisa memahami makna hidup kita, walau tidak mudah. Memahami tentang negara ini, berpikir mengenai apa yang bisa kita lakukan untuk membuat negara ini menjadi lebih baik.

    Liked by 1 person

  2. umur sudah xx, kok belum jadi apa2? sebuah pikiran yang mengganggu pikiran saya semenjak menginjak umur 20 tahun.

    saya adalah pecundang. atau setidaknya seseorang yang dipecundangi oleh sistem. bukan hanya sistem pendidikan, tetapi sistem-sistem lainnya yang sama bengkoknya dan sama2 menjadi akar di tubuh struktur masyarakat.

    saya tumbuh tak dianugerahi rasa kepedulian yang besar dibanding anak-anak sebaya saya. saya mengerti sekali mengenai itu. tapi ternyata karena sistem ini, saya membuka mata dan mengkritisi ketidakadilan. Saya tak bisa diam saja ketika Logika di bengkokkan dan kebenaran dikaburkan.

    sama seperti kamu, saya menghirup kebijaksanaan yang hadir ketika mata terjaga dikala orang-orang terlelap. saya mendapati saya memang tidak memiliki cukup empati untuk tergugah dengan tanah-tanah gusuran atau orang-orang yang terbuang. Tapi rasa kebenaran saya tak bisa membiarkan logika-logika bengkok yang menggusur dan membuang mereka hanya jadi embun di permukaan kaca— hilang ketika siang datang.

    saya dengan segala perspektif egosentris saya dengan mantap menyatakan:
    saya akan Mengungkapkan kebenaran, dan apabila memang saya tak bisa mengungkapkannya (tentu dengan segala konsiderasi realistis yg ada), setidaknya saya tau.

    Liked by 1 person

    • Hallo Hafiz, thanks for comment. dari comment kamu, maaf aku bisa bilang bahwa kesadaran kamu naif. aku yakin jika kamu benar-benar peduli, kamu akan meningkatkan empati tersebut, karena mereka yang digusur tanahnya itu, benar-benar memerlukan bantuan kita ^^.

      Like

      • yah, as much as enlightment goes. mungkin kesadaran aku memang cuma sampai sana.
        i guess im just trying to step my path lightly. as reckless is somewhat untolerated when it have something to do with someone else’s life.

        you had to have a clear motivation. and that’s what i lacking for.

        Like

  3. Saya rasa bukan sistem yang salah, tapi yang salah adalah cara kita menyikapi sistem….

    Kadang kita lupa, tujuan kita sebenarnya diciptakan, tuhan berikan tangan, kaki, otak dan hati agar kita bisa memilih dan memilah antara yang haqq dan bathil, tuhan juga ciptakan dua mata dan dua telinga tapi hanya menciptakan satu mulut, pada hakikatnya kita dituntut untuk lebih banyak melihat (membaca) dan mendengar daripada ngomong.

    Thanks, ini hanya opini saya 😁

    Liked by 1 person

    • Makasih, Kang. kita perlu menyepakati dulu apa yang haqq dan yang bathil, dan sistem apa yang aku anggap salah. Iya benar, aku ngomong, karena aku banyak melihat dan banyak membaca, dan sebisa mungkin aku berkontribusi untuk merealisasikan apa yang aku ketahui. karena jika kita hanya paham dan mendengarkan saja, artinya kita hanya diam, menyimpan pengertian dan kebaikan hanya untuk diri sendiri ^^.

      Like

Leave a comment